Melayani dan Berprestasi

Jumat, Desember 26, 2008

CATATAN HITAM UNDANG-UNDANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN



Hendra Gunawan
(Presiden Mahasiswa BEM UNRI)

Pasal-pasal dalam UU BHP memang sepintas tidak bermasalah. Namun jika kita mencermatinya dari perspektif FILOSOFIS DAN SOSIOLOGIS, akan tampak jelas akar permasalahan yang sesungguhnya. Secara filosofis BHP menempatkan pendidikan pada ranah hukum privat. Konsekuensi logis dari hukum privat, pendidikan akan dilihat sebagai komoditas, bukan hak dasar warga negara. Pendidikan seharusnya diatur dalam ranah hukum publik. Konsekuensi lainnya institusi pendidikan (sekolah atau universitas) akan ditata kelola seperti perusahaan, sehingga bisa dipailitkan (bangkrut/ditutup/dilikuidasi).
Adapun secara sosiologis penerapan BHP menuntut kesiapan baik kemandirian maupun manajemen dari institusi pendidikan. Dengan kondisi pendidikan Indonesia yang masih carut-marut seperti ini (infrastruktur buruk, tenaga pengajar minim, dll) dapat diprediksi bahwa kita belum siap menerapkan BHP sebagaimana sistem pendidikan di negar-negara maju. Sebagai contoh : universitas sebesar UI atau UGM saja yang katanya WORLD CLASS belum bisa mandiri, masih membebani biaya oprasional pada mahasisiwa (uang kuliah naik, buka jalur “khusus”). IPB yang mempunyai daya tampung mahasiswa baru sebesar 2300 kursi ternyata hanya dapat meluluskan 300 mahasiswa baru yang murni dari nilai SMNPTN, sisanya dilelang kepada instansi-instansi swasta atau pemerintah yang mampu membeli harga bangku kuliah yang cukup mahal (kantor berita antara, red). Belum lagi masalah trasparansi dan akuntabilitas pengelolaan universitas yang masih jauh dari harapan. Lantas apa yang terjadi jika hal yang sama juga diterapkan pada SD, SMP dan SMA (sebagaimana yang terdapat dalam UU BHP) dimana pengelolaan manajemannya masih sangat sederhana? Dimana anak-anak miskin negeri ini kemudian akan sekolah??

PENGESAHAN RUU BHP

Pengesahan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) menjadi undang-undang merupakan hal yang tidak diinginkan dan menyakitkan hati rakyat Indonesia. Karena di dalam UU BHP yang baru disahkan ini terdapat pasal-pasal yang tidak pro rakyat dan terkesan menjadikan sektor pendidikan sebagai lahan komersialisai.

1. Pendanaan dalam BHP

Pendanaan di dalam BHP merupakan bentuk pengurangan peran pemerintah dalam sektor finansial pendidikan. Di dalam pasal 41 ayat 4 disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung paling sedikit 1/3 (sepertiga) biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA, ed.) berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan. Kemudian di pasal 41 ayat 8 disebutkan Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah (SMA, ed.) berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Kemudian muncul pertanyaan berikutnya, lalu siapakah yang akan memenuhi kekurangan 1/3 dari biaya operasional pendidikan menengah (karena tidak diatur dalam UU)? Dan ketika 1/3 biaya operasional ditanggung oleh peserta didik (Siswa SMA), mampukah?


Lalu bagaimanakah dengan Perguruan Tinggi?

Pasal 41 ayat 6 menyebutkan Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit ½ (seperdua) biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan. Kemudian di pasal 41 ayat 9 Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi (perguruan tinggi) berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.
Kemudian muncul pula pertanyaan, siapakah yang akan memenuhi kekurangan 1/6 dari biaya operasional pendidikan tinggi (karena tidak diatur dalam UU)? Dan ketika 1/3 biaya operasional ditanggung oleh peserta didik (Mahasiswa), mampukah?
(PERINGATAN : Jangan melihat “nominal angka” yang hanya 1/6 atau 1/3, karena jika konversikan ke dalam biaya operasional pendidikan, jumlahnya minimal mencapai puluhan sampai ratusan miliyar rupiah)


Dengan kondisi ekonomi yang serba sulit serasa mencekik leher, mungkinkah masyarakat miskin bisa ikut merasakan pendidikan. Walaupun di dalam pasal 46 ayat 1 dikatakan bahwasanya BHP wajib menjaring Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Namun pasal ini menunjukkan sikap keragu-raguan pemerintah, kenapa minimal hanya 20%? Karena dengan standar minimal yang cukup kecil ini, akan menjadi alasan bagi institusi BHPP dan BHPPD untuk memenuhi standar yang paling minimal (karena tidak menyalahi UU). Padahal rakyat Indonesia hari ini sedang dalam kondisi yang teramat sulit.


2. BHP Ibarat Perusahaan

Pasal 57 menyebutkan bahwasanya sebuah badan hukum pendidikan bisa dibubarkan karena dinyatakan pailit. Persis seperti perusahaan, ketika perusahaan pailit maka perusahaan itupun dibubarkan. Mari kita renungkan sejenak, seandainya ada Pendidikan Menengah atau Perguruan Tinggi yang tidak mampu membayar biaya operasional haruskah dibubarkan? Atau bagaimana jika dalam suatu kabupaten hanya terdapat 1 atau 2 sekolah? Lalu dikemanakan peserta didiknya? Sekali lagi ini institusi pendidikan bukan perusahaan.
Di dalam Badan Hukum Pendidikan, ada kebebasan institusi pendidikan untuk membuka lahan bisnis dalam memenuhi/menutupi biaya operasional (seperti: membuka SPBU, hotel,dll). Sekali lagi mari kita renungkan ketika institusi pendidikan sudah melakukan bisnis maka apa jaminannya tidak terjadi perpecahan terhadap konsentrasi/fokus antara mendidik atau mengelola lahan bisnis. Lantas dimana letak jaminan kualitas pendidikan yang katanya akan ditingkatkan melalui BHP. Masih bisa fokuskah pendidikan kita? Atau pendidikan justru menjadi yang di nomor duakan.

3. BHP hanya melahirkan bangsa kuli
Pemerintah terkesan bermaksud mengelabui masyarakat dengan mensubsidi habis-habisan pendidikan dasar, melalui pasal 41 ayat 1 yang menyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menanggung seluruh biaya oprasional pendidikan dasar (SD dan SMP, red) – sementara pendidikan menengah dan tinggi (SMA dan Universitas, red) dibiarkan mencari cara bertahan sendiri. Padalah justru pendidikan menengah dan tinggilah yang membutuhkan dana dan dukungan yang besar di era globalisasi kelak, karena keharusan untuk bersaing dengan masyarakat internasional yang berpendidikan tinggi. Lantas apa yang kemudian terjadi? Masyarakat kita hanya akan sampai pada jenjang pendidikan dasar (menjadi buruh dan kuli) – mengingat hanya jenjang pendidikan itu yang terjangkau biayanya. Sementara itu pendidikan menengah dan tinggi justru akan semakin sulit untuk dijangkau karena mahalnya. Tepat sekali pernyataan menteri kesehatan kita, Dr. Siti Fadilah Supari, bahwa “UU BHP hanya akan manjadikan bangsa ini kuli bagi kapitalis asing”.


Tuntaskan Perubahan..
Karena …
“Pendidikan adalah hak setiap warga Negara, tidak ada alasan untuk menghambat akses memperoleh pendidikan”.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl