Oleh : Hendra Gunawan / Presiden Mahasiswa
Persaingan global yang sangat ketat menuntut setiap bangsa untuk menyiapkan generasi-generasi tangguh। Demikian juga dengan Indonesia, kita memerlukan sumberdaya manusia (SDM) paripurna। Manusia yang cerdas, sehat, jujur, berakhlak mulia, berkarakter, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi। Karena itu, pendidikan sebagai jalur utama pengembangan SDM dan pembentukan karakter adalah kata kunci dalam menentukan nasib bangsa. Dalam kaitan ini, mutu pendidikan di Indonesia harus terus ditingkatkan agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan negara lain.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 60% penduduk Indonesia adalah lulusan SD ke bawah। 19 % lulusan SMP dan sekitar 18% lulusan SMA. Sisanya adalah kaum-kaum beruntung yang berhasil merasakan indahnya bangku kuliah. Data ini diperkuat hasil rapid assessment yang dilakukan oleh Depdiknas, Bappenas dan Bank Dunia pada tahun 2001. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan berjumlah sekitar 254,2 juta jiwa. Dari jumlah ini kelompok usia 19-25 tahun diperkirakan berjumlah 25 juta jiwa yang sekitar 25% nya diperkirakan mengenyam pendidikan tinggi.
Perkiraan ini tentu jauh tertinggal dari Negara-negara maju yang jumlah presentase masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi sudah menyentuh bahkan lebih dari 50%.
Kondisi ini memperparah dunia pendidikan kita saat ini। Fakta sosial menunjukkan sekitar 15 juta jiwa Indonesia masih terjerembab dalam jurang kenistaan bernama buta huruf.
KESADARAN PENDIDIKANSecara sosiologis pendidikan berfungsi sebagai sosial elevator, sarana sosial yang dapat mengubah nasib seseorang berkebalikan dari sebelumnya. Karena pendidikan ini sangat penting yang membuatnya dicantumkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) tahun 1966 sebagai hak dasar setiap manusia.
Gayatri Spivak pernah berpendapat bahwa pendidikan adalah the most powerfull things dalam konteks kontrol sosial masyarakat। Dalam kehidupan bernegara mutlak adanya kontrol sosial masyarakat terhadap penguasa negeri। Karena itu semua praktek diktatorisasi ataupun keberpemimpinan sepihak gaya orde baru akan dapat dicegah. Problemnya akankah efektif aktifitas kontrol sosial itu manakala dihadapkan pada tingkat pemerataan kesempatan dan kualitas pendidikan itu sendiri di ujung tanduk?
Perlu adanya kesadaran peran dari dunia pendidikan dalam mencetak atau menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas. Paling tidak dunia pendidikan harus bisa melahirkan generasi yang K2P (Kompeten, Kontributif dan Profesional). Memiliki kompetensi adalah syarat mutlak yang harus dihasilkan oleh wahana pendidikan, sehingga mampu bersaing di tengah arus globalisasi. Kompetensi menjadi standar kepakaran dalam mencetak kader-kader intelektual. Kompetensi juga harus di selaraskan dengan kemampuan untuk berkontribusi dan profesional dalam memainkan peranan kebangsaan, karena jika tidak maka akan terjadi ketimpangan dalam mengelola bangsa ini.
Pendidikan harus mencetak orang-orang yang kontributif dan profesional, sehingga tidak hanya menghasilkan generasi-generasi robot yang tidak peduli dengan lingkungan sosial kemasyarakaatan। Kompetensi intelektual jika tidak diiringi dengan kepekaan sosial untuk berkontribusi maka akan melahirkan generasi individualis yang hanya mementingkan diri sendiri. Maka sudah saatnya para intelektual pendidikan menyadari peran yang akan dimainkan baik saat mengenyam pendidikan juga setelah keluar dari institusi pendidikan. Sehingga dunia pendidikan tidak lagi melahirkan barisan robot yang siap diperintah dan siap dihancurkan.